Portuguese Man O’ War (Physalia physalis)


Portuguese Man O’ War atau ubur-ubur Portugis memiliki warna yang paling unik jika dibandingkan dengan ubur-ubur lainnya. Mereka memiliki warna kebiru-biruan, sehingga mereka sering disebut juga dengan julukan the blue bubble atau blue bottle. Ubur-ubur Portugis hidup dengan mengapung di permukaan air laut. Hewan ini hidup di daerah tropis dan subtropis yang berair hangat, tersebar di Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Ubur-ubur Portugis memiliki sebuah kantung udara, di mana kantung ini bisa membantu mereka untuk mengapung di permukaan air, dengan ini mereka bisa mengapung dan terbawa arus menyeberangi samudera. Tubuh mereka berwarna sangat khas yaitu biru ataupun ungu dengan panjang sekitar 30 cm dan memiliki tentakel yang panjangnya bisa mencapai panjang 50 m. Tubuh mereka seperti balon yang berisi udara, yaitu gas Karbon dioksida (hampir 90%). Mereka harus selalu menjaga kelembaban tubuh mereka untuk bisa hidup, tak jarang mereka menggulung tubuhnya untuk membasahi kantung udara yang senantiasa mengapung, selain itu hal tersebut juga bertujuan untuk menghindari serangan pemangsa. Jenis ubur-ubur ini termasuk hewan karnivora,mereka biasa memakan ikan-ikan kecil ataupun udang. Kumpulan ubur-ubur Portugis memang terlihat sangat indah, tapi berhati-hatilah karena hewan ini termasuk hewan berbahaya dengan sengatan pada tentakelnya.

ELANG


Elang, hewan yang didesain khusus sebagai penerbang ulung dan pemburu yang handal. Elang adalah burung yang mampu terbang paling tinggi di dunia, bahkan elang membuat sarangnya di ketinggian. Elang termasuk hewan berdarah panas, yaitu hewan yang panas tubuhnya berasal dari hasil metabolisme. Suhu tubuh elang cenderung konstan seperti pada burung lainnya. Elang merupakan hewan pemangsa. Makanan utamanya berupa mamalia kecil seperti tikus, tupai, kelinci, bahkan jenis burung lainnya. Selain itu terdapat sebagian elang yang menangkap ikan sebagai makanan utama mereka. Sebagai pemburu yang heat, elang dilengkapi dengan paruh yang kuat dan tajam. Paruhnya bengkok, berfungsi sebagai pengoyak mangsanya menjadi bagian-bagian kecil yang mudah ditelan. Burung ini juga mempunyai sepasang kaki yang kuat dengan cakar yang tajam untuk mencengkeram mangsa serta daya penglihatan yang tajam untuk memburu mangsa dari jarak jauh. Elang merupakan jenis unggas yang mempunyai umur paling panjang didunia. Umurnya dapat mencapai 70 tahun. Tetapi untuk mencapai umur sepanjang itu seekor elang harus membuat suatu keputusan yang sangat berat pada umurnya yang ke 40. Ketika elang berumur 40 tahun, cakarnya mulai menua, paruhnya menjadi panjang dan membengkok hingga hampir menyentuh dadanya. Sayapnya menjadi sangat berat karena bulunya telah tumbuh lebat dan tebal, sehingga sangat menyulitkan waktu terbang. Pada saat itu, elang hanya mempunyai dua pilihan: Menunggu kematian, atau mengalami suatu proses transformasi yang sangat menyakitkan, suatu proses transformasi yang panjang selama 150 hari. Untuk melakukan transformasi itu, elang harus berusaha keras terbang ke atas puncak gunung untuk kemudian membuat sarang di tepi jurang , berhenti dan tinggal di sana selama proses transformasi berlangsung.

Pertama-tama, elang harus mematukkan paruhnya pada batu karang sampai paruh tersebut terlepas dari mulutnya, kemudian berdiam beberapa lama menunggu tumbuhnya paruh baru. Dengan paruh yang baru tumbuh itu, ia harus mencabut satu persatu cakar-cakarnya dan ketika cakar yang baru sudah tumbuh, ia akan mencabut bulu badannya satu demi satu. Suatu proses yang panjang dan menyakitkan. Lima bulan kemudian, bulu-bulu elang yang baru sudah tumbuh. Elang mulai dapat terbang kembali.

Global Warming Bikin Dunia Banjir Pejantan


Global warming tidak hanya menyebabkan perubahan iklim, tetapi juga mengganggu interaksi seksual di kehidupan liar. Salah satu dampak yang mengkhawatirkan adalah terganggunya perkembangbiakan makhluk hidup karena kenaikan suhu cenderung melahirkan banyak pejantan daripada betina.

Pada kebanyakan hewan melata (reptil), jenis kelamin ditentukan seberapa suhu pengeraman telur setelah dibuahi hingga menetas. Jika suhunya di atas suhu rata-rata, biasa disebut pivotal temperature, hampir pasti akan tumbuh menjadi pejantan. Hal tersebut akan menimbulkan masalah jika tingkat kenaikan suhu melaju lebih cepat daripada kemampuan alam melakukan adaptasi. Jumlah betina akan jauh lebih kecil daripada pejantan.

Ancaman yang sama juga dihadapi kelompok ikan. Penelitian terbaru yang dilakukan Natalia Ospina-Alvarez dan Fransesc Piferrer dari Marine Science Institute di Barcelona, Spanyol, menemukan bahwa 6 genus ikan—dari 20 yang terindikasi—nyata-nyata memiliki jenis kelamin yang ditentukan suhu pengeraman atau biasa disebut TSD (temperature-dependent sex determination). Antara lain, genus Menidia dan Apistogramma.

Hasil penghitungan mereka menunjukkan bahwa kenaikan suhu air sebesar 4 derajat Celcius, yang diprediksi akan terjadi sepanjang abad ini akan menghasilkan rasio pejantan dan betina sebesar 3 berbanding 1. Rasio tersebut sangat berisiko untuk menjamin kelangsungan hidup ikan.

Pada manusia, kenaikan suhu global mungkin tak berpengaruh pada rasio jenis kelamin. Namun, dampaknya tetap mengancam kelangsungan hidupnya di muka Bumi.